tuna beku

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perikanan merupakan salah satu komponen PDB nasional yang memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara. Tahun 2007 sektor perikanan memberi kontribusi kurang lebih 17,7 persen pada sektor pertanian dengan nilai mencapai Rp 96.822,1 Milyar, menempati urutan kedua setelah sektor tanaman bahan makanan. Namun dilihat dari pertumbuhannya, tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 5,39 persen, menurun dari periode sebelumnya tahun 2006 yang pertumbuhannya sebesar 6,90 persen. Walaupun demikian, jika melihat potensi sumber daya perikanan yang dimiliki Indonesia, pertumbuhan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih dapat ditingkatkan (BPS. 2007).     
Indonesia memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, salah satunya berasal dari sumber daya perikanan laut. Laut Indonesia dengan luas kurang lebih 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi lestari produksi sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebanyak 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) dengan keanekaragaman spesiesnya mencapai lebih dari 28000 spesies. Dari segi produksi, sektor perikanan baik perikanan tangkap maupun budidaya menunjukkan peningkatan. Produksi perikanan nasional pada periode 2004-2007 terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,5 persen/tahun. Perikanan tangkap mendominasi dengan rata-rata persentase produksi sebesar 67,5 persen (DKP. 2005).
            Ikan tuna, sebagai salah satu komoditi unggulan dalam ekspor perikanan Indonesia, sampai saat ini masih prospektif dalam perdagangan internasional. Peluang untuk meningkatkan volume ekspor tuna masih sangat terbuka. Beberapa faktor penunjang masih terbukanya peluang tersebut diantaranya, pertama, permintaan ikan tuna yang selalu ada dan cenderung meningkat setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan volume ekspor tuna Indonesia yang terus meningkat pada periode 2005-2007. Meningkatnya kesadaran manusia terhadap produk perikanan sebagai makanan yang sehat dan bernilai gizi tinggi, rendah kolesterol, serta mengandung asam lemak tak jenuh omega 3, mendorong minat konsumen terutama konsumen luar negeri terhadap tuna (DKP. 2005).
            Ikan tuna memiliki semua kelebihan-kelebihan tersebut. Kedua, Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar sebagai penghasil tuna. Posisi perairan Indonesia yang terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memberikan keuntungan karena lokasi tersebut merupakan daerah perlintasan ikan tuna. Potensi lestari ikan tuna dan cakalang diperkirakan mencapai 886.600 ton/tahun atau sekitar 20 persen dari total potensi ikan tuna dan cakalang dunia pertama. Dari segi produksi, tahun 2007 volume produksi ikan tuna Indonesia mencapai 191.558 ton, meningkat sebesar 20,17 persen dari volume produksi ikan tuna tahun 2006 sebesar 159.405 ton. Ketiga, Indonesia memiliki jenis ikan tuna dengan berbagai spesies yang memiliki nilai jual tinggi. Upaya peningkatan ekspor tuna harus didukung oleh peningkatan kuantitas, kualitas, dan nilai tambah tuna. Dibutuhkan usaha yang serius dalam hal penelitian dan pengembangan berbagai aspek, mulai dari aspek produksi distribusi, hingga pemasaran. Perlu upaya terpadu agar usaha ekspor tuna dapat terus berkembang dalam menghadapi tantangan yang ada. Peran pemerintah dan pelaku usaha terkait harus lebih dioptimalkan. Salah satunya adalah perusahaan pengolahan tuna untuk ekspor. (Purnomo et al. 2007).

B. RUMUSAN MASALAH




Pengenalan Umum Tuna
Menurut Junianto (2003), tuna merupakan salah satu jenis ikan yang berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penangkapan tuna sangat penting artinya untuk mendapatkan nilai jual ikan tuna yang sangat tinggi. Penanganan dan pengolahan ikan tuna di atas kapal sangat penting untuk diketahui dan dipahami dalam upaya menjaga konsistensi kualitas produk. Untuk mendapatkan kualitas tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak dilakukan penangkapan. Pemahaman tentang biologi tuna akan mempermudah penanganan ikan tuna.

2.1.1 Klasifikasi Tuna
Menurut Junianto (2003) bahwa dalam sistem klasifikasi, tuna termasuk family Scombroidea dimana salah satu ciri dari ikan anggota Scombroidea yaitu kandungan asam amino bebas histidin yang tinggi.
Menurut Saanin (1983 dalam Widiastuty (2007), ikan tuna diklasifikasikan sebagai berikut:
Sub Phylum     : Vertebrata
Class                : Teleostei
Ordo                : Percomorphi
Sub ordo         : Scombroidae
Familia            : Scombroidea
Genus              : Thunnus
Species             : Thunnus Albacores
Thunnus Obesus
Thunnus alalunga (albacore)
Thunnus tongkol (longtail tuna)                 
Thunnusmaccoyii (southern bluefin tuna) 

Menurut Tampubolon (1983), spesies tuna yang dianggap paling komersil adalah seperti pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Jenis Ikan Tuna dan Nama Perdagangannya.
Nama Indonesia
Nama Perdagangan
Nama Latin
Albakora
Albacore
Thunnus alalunga
Abu-abu Selatan
Southern bluefin
Thunnus maccoyii
Abu-abu Utara
Northern bluefin
Thunnus thynnus
Cakalang
Skipjack
Katsuwonus Pelamis
Madidihang
Yellowfin
Thunnus albacores
Matabesar
Bigeye
Thunnus obesus
Tongkol
Little tuna
Euthynnus affinis
Tongkol pisang
Frigated mackerel
Auxis thazard

2.1.2 Morfologi Tuna
Umumnya badan ikan tuna tampak padat, silindris panjang. Mulutnya cukup lebar, posisinya terletak di muka sedikit di bawah matanya. Mempunyai gigi kecil dan runcing yang makin ke belakang makin kecil ukurannya. Matanya lebar, mempunyai dua sirip dorsal yang berdekatan, di belakang sirip dorsal yang kedua sampai ekornya terdapat 8-9 sirip-sirip kecil. Sirip-sirip demikian juga terdapat antara sirip anal dan ekornyadibagian bawah badan (Hadiwiyoto, 1993).
Tuna mempunyai panjang antara 40 cm – 200 cm dengan berat antara 3-130 kg. Tuna terbagi atas beberapa jenis seperti Yellow fin tunaAlbacore, Long tail tunaBlack fin tuna, dan Southern blue fin tuna. Sedangkan di Indonesia jenis-jenis yang tertangkap adalah Yellow fin tuna atau madidihang, Big eye tuna atau biasa di sebut tuna mata besar,Albacore, dan Southtern blue fin tuna (Tampubolon, 1983 dalam Novriyanti, 2007).

2.1.3 Komposisi Daging Tuna

Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B golongan thiamin, riboflavin dan niasin (Departemen of Health Education and Walfare 1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan musim.  Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah.  Kandungan lemak juga berbeda nyata pada bagian tubuh yang satu dengan yang lain.
Menurut Soen’an (2004), bahwa semakin bertambah usia, kandungan lemaknya semakin tinggi. Ikan yang bermigrasi dalam kondisi buruk dapat menurunkan lemaknya. Pada masa setelah bertelur lemak ikan meninggi. Dan ikan yang tinggal di habitat yang kaya makanan banyak mengandung lemak.

Untuk lebih jelasnya komposisi kimia ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
 Tabel 2. Komposisi Kimia Ikan Tuna (%)
Species
Air
Protein
Lemak
Karbohidrat
Abu
Bluefin
68,70
28,30
1,40
0,10
1,50
Southern Bluefin
65,60
23,60
9,30
0,10
1,40
Yellow Fin
74,20
22,20
2,10
0,10
1,40
Skipjack
70,40
25,80
2,00
0,40
1,40
Marlin
72,10
25,40
3,00
0,10
1,40
Mackerel
62,50
19,80
16,50
0,10
1,10
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)

2.2 Penurunan Mutu Ikan
Setelah ikan ditangkap/dipanen dan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh reaksi kimia, enzim autolysis dan aktifitas mikroba. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah hiperaemia, rigor mortis, autolysis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan yang membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh (Zaitsev et al, 1969 dalam Ditjen P2HP, 2008).
Penurunan mutu pada ikan yang terjadi dapat meliputi perubahan oleh karena proses kimiawi, enzimatis, dan bakteriologis.  

2.2.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi
Kemunduran mutu secara kimiawi meliputi terjadinya proses oksidasi lemak. oksidasi ini terjadi karena enzim lipolitik mengurai lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol, dimana proses yang terjadi adalah oto-oksidasi, lipolisis, dan lipoksida. Proses oto-oksidasi disebabkan oleh enzim hidroperoksida, lipolisis disebabkan oleh enzim-enzim hidrolase atau lipase, dan lipoksidasi disebabkan oleh enzim lipoksidase. Dan apabila pembongkaran lemak berlanjut maka akan menghasilkan senyawa-senyawa keton, dan aldehid. Sehingga lemak mengalami proses ketengikkan (Hadiwiyoto, 1993).

2.2.2 Kemunduran Mutu Secara Enzimatis
Selama ikan hidup, enzim ini menbantu proses metabolism makanan sehingga aktivitas enzim selalu menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Tetapi setelah ikan mati, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol lagi, sehingga merusak tubuhnya sendiri, seperti dinding usus, daging, bagian tubuh lain, serta menguraikan senyawa yang semula kompleks menjadi senyawa lebih sederhana. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolysis merupakan media yang sangat cocok untuk fase pertumbuhan bakteri (Sarmono, 2002).
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan pangan itu tersebut. Proses autolysis terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolysis memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolysis ikan yang tidak diberi es (Afrianto, 2008).
Autolysis belum dapat disebutkan pembusukan karena hasil hidrolisis protein dan lemak masih dapat dimakan manusia. Namun demikian, autolysis merubah struktur daging sehingga kekenyalannya menurun; daging menjadi lembek; terbagi menjadi lapisan-lapisan dan terpisah dari tulang. Kerusakan ini menyebabkan bagian perut sobek. Selain itu, pemecahan protein menghasilkan substrat yang disukai bakteri yang menyebabkan pembusukan (Murniyati dan Sunarman, 2000). Kecepatan autolisis tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan total, akan tetapi bisa diperlambat. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya bakteri (Junianto, 2003).

2.2.3    Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis
Fase perubahan selanjutnya setelah autolysis adalah perubahan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan masih hidup ikan dianggap mengandung bakteri, bahkan ada yang menyebutkan steril, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan itu banyak dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme itu, sehingga tidak bermasalah bagi hidupnya (Sarmono, 2002).
Dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang bersifat merusak (steril), meskipun di dalam lendir yang melapisi badan dan didalam insang maupun sistim pencernaan terdapat banyak mikroorganisme (Moeljanto, 1992).
Aksi bakteri ini dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis dan kemudian sejajar. Bakteri merusak lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Selama ikan hidup, bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barier) terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati kemampuan barier tadi hilang sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Junianto, 2003).
Daging ikan yang baru saja mati boleh dikatakan steril, tetapi sejumlah besar bakteri bersarang dipermukaan tubuh, insang dan didalam perutnya. Bakteri itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri  mulai berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000)untuk dapat hidup dengan baik, bakteri memerlukan suhu tertentu tergantung jenisnya. Ada tiga macam jenis bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.
Jenis Bakteri
Suhu Minimum
Suhu Optimum
Suhu Maksimum
Thermophylic
Mesophylic
Psycrophylic
25 - 450C
5 – 250C
00C
50 – 550C
25 – 370C
14 – 200C
60 – 800C
430C
300C

2.2.4    Histamin
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada famili ikan scromboidae atau  lebih dikenal dengan tuna.  Pada jenis ikan tuna yang memiliki dua jenis daging yaitu  putih dan gelap justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya sedangkan daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah justru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Histamin di dalam daging diproduksi oleh enzim yang menyebabkan meningkatnya pemecahan histidin melalui proses dekarboksilase (Winarno, 1993).
Menurut Hadiwiyoto (1993), degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase menjadi histamin. Senyawa histamin mungkin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya.  Senyawa histamin bersifat racun yang dalam beberapa hal menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid Food Poisoning”.
Keberadaan histamin pada bahan pangan menandakan tingkat kemunduran mutu bahan tersebut. Pembentukan amina biogenic ini tergantung dari ketersediaan asam amino bebas, keberadaan dekarboksilase yang dikandung mikroorganisme (bakteri dengan enzim yang menyebabkan dekarboksilasi asam amino bebas) dan kondisi yang mendukung pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim (Putro, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
            Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno, 1993).
Dari ratusan jenis bakteri yang diteliti ada tiga jenis yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu antara lain Proteus morganii, Enterobacter aerogeneses, Clostridium prefringens.
Penyimpanan ikan pada kondisi refrigerasi sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Public Health Divisin, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
Selama pendinginan kadar histamin tidak mengalami perubahan, tetapi pada waktu pendinginan karena suatu hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka kadar histaminnya akan meningkat, demikian juga jumlah bakteri akan meningkat 100 kali lebih banyak, tetapi bila pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24 jam tidak berpengaruh terhadap kadar histamin (Winarno,1993).
Menurut Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin telah terbentuk selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau dimasak pada suhu tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap potensial membahayakan manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah (1990) dalam penelitiannya, bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang bervariasi sesuai dengan asalnya pada tubuh tuna dan lama penyimpanan.

1.         Penanganan ikan tuna diatas kapal
Tuna merupakan ikan ekonomis penting yang ada di daerah PPSNZJ, ada dua jenis tuna yang diolah disini yaitu madidihang (Thunnus albacores) dan tuna mata besar (Thunnus obesus).Madidihang memiliki bentuk tubuh lebih ramping dan memiliki sirip dorsal yang lebih panjang dibanding tuna mata besar. Tuna ditangkap menggunakan rawai tuna atau tuna longline. Satu tuna longline biasanya mengoperasikan 1000-2000 mata pancing untuk sekali turun. Setelah ditangkap, ikan lalu disortir. Penyortiran dilakukan untuk meminimalisir bakteri pengurai sehingga ikan tidak cepat busuk.
Jenis penyortiran di atas kapal adalah sebagai berikut:
1. Headless (HDD)
Yaitu perlakuan ikan segar dengan cara memotong kepala dan pangkal ekor. Contoh ikan yang mendapat perlakuan tersebut adalah meka, marlin, dan layaran.
2. Gillnes (GTT)
Yaitu perlakuan ikan segar dengan memotong seluruh bagian sirip dan membuang isi perut. Contoh: tuna
3. Whole (WHO)     
Yaitu perlakuan ikan segar dengan membiarkan seluruh tubuh tetap utuh. Contoh: cakalang, skipjack, dan tenggiri.
Setelah disortir, tuna langsung dimasukkan ke dalam palka. Ada dua tipe pendinginan pada palka yaitu pendinginan menggunakan es curah dan pendinginan menggunakan freezer. Pendinginan menggunakan freezer lebih baik dibanding es curah. Hal ini dikarenakan suhu pada freezer dapat diatur. Suhu palka dipertahankan di bawah 5oC untuk mencegah kadar histamin naik.
2.         Penanganan ikan tuna di pelabuhan /dermaga
Pada saat tiba di pelabuhan, suhu palka di cek untuk memastikan suhunya masih di bawah 5oC. Setelah di check, penutup seperti tenda di pasang dari kapal ke tempat pendaratan tuna (TPT) untuk menghindari tuna terkena sinar matahari pada saat pemindahan. Sinar matahari dapat menaikkan histamine pada tuna.
Histamin adalah racun yang terdapat pada seafood yang dapat terjadinya keracunan Histamin Fish Poisoning (HFP). Walaupun tidak secara menyeluruh tetapi histamine ini ditemukan pada keluarga Scombridae dan Scombresocidae yang meliputi tuna dan mackerel. Hal ini dikarenakan kedua jenis ikan ini memiliki tingkat asam amino histidin yang tinggi pada dagingnya yang secara alami mengalami perubahan dari histidin menjadi histamine akibat adanya aktivitas bakteri (Mahendra, 2005).
Histamin di dalam daging diproduksi oleh enzim yang menyebabkan dan meningkatkan pemecahan histidin melalui proses dekarboksilaksi (pemotongan gugus karbon) (Chetfel et.al dalam Mahendra, 2005). Ikan tuna segar pada dasarnya tidak mengandung histamine dalam dagingnya, tetapi setelah mengalami proses pembusukan atau dekomposisi, daging ikan ini mengandung histamine.
Pembentukan histamine pada setiap spesies berbeda tergantung pada kandungan histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang mengkontaminasi, serta suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba (Pan dalam Mahendra, 2005).
Setelah ikan mati, sistem pertahan tubuhnya tidak bias lagi melindungi dari serangan bakteri, bakteri pembentuk histamine mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya pada daging ikan.
Enzim ini mengubah histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamine yang memiliki karakter yang lebih bersifat alkali. Histamin terbentuk pada suhu sekitar 20°C. Segera setelah ikan mati, pembekuan merupakan cara mencegah Scombrotoxin. Menurut Taylor (2002), Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5°C.
Histamin dapat dihambat dengan cara menurunkan suhu pada daging ikan sehingga suhu optimal yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan histidin menjadi histamine tidak tercapai, hal ini harus dilakukan sebelum histamine itu sendiri terbentuk karena histamine bersifat stabil pada suhu 20°C (Bremmer et.al.,2003). Sehingga untuk mencegah kadar histamine terbentuk, pada saat bekerja untuk memindahkan tuna, saya melakukannya secepat mungkin kedalam TPT menggunakan slider untuk mencegah paparan sinar matahari dan udara bebas terlalu lama.
                  
·            Penerimaan di TPT
Tempat penerimaan tuna untuk dikemas dinamakan Tempat Pendaratan Tuna (TPT). Dari hasil pengamatan, tuna yang sudah masuk TPT kemudian diuji secara organoleptik untuk memperkirakan mutu bahan baku, ukuran dan jenis bahan baku yang sesuai.
Tujuan dari uji organoleptik adalah mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan terhindar dari kontaminasi bakteri patogen serta bebas dari mata pancing.
Tuna segar yang diterima pada unit pengolahan ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan dipertahankan maksimal 4,4°C. Pemeriksaan terhadap mata pancing dilakukan terhadap setiap ikan dengan membuka insang dan mulut. Pemerikasaan organoleptik dilakukan oleh orang yang berpengalaman karena membutuhkan keterampilan khusus dan pengalaman bertahun-tahun untuk membedakan kualitas tuna untuk ekspor.


 Produk
2.4.1.    Produk yang Dibekukan dan Proses Pembekuannya
Produk yang akan dibekukan dengan air blast freezer adalah ikan tuna utuh tanpa ekor, insang, dan isi perut atau sering disebut whole, gill, and gutted dengan mutu sashimi. Prosedur pembekuan ikan tuna tersebut adalah sebagai berikut :
i)    Penangkapan dan penanganan ikan
Ikan tuna harus ditangkap dengan akibat stress kecil. Hal ini bertujuan untuk menghindari penumpukan asam laktat dalam daging yang dapat mempercepat proses pembusukan. Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), ikan tuna yang mengalami stress yang berat, misalnya tuna meronta kuat selama 2 menit sebelum dinaikkan ke kapal, sejumlah besar asam laktat terbentuk di dalam jaringan, menimbulkan situasi asam. Jika kondisi ini digabung dengan temperatur tinggi, daging dapat rusak berat, yaitu daging terbakar. Daging yang demikian tidak sesuai untuk sashimi karena penampilannya tidak menarik, berasa asam, dan berasa logam. Saat dinaikkan ke kapal, ikan harus masih hidup dan tidak boleh cacat. Jika dikait saat dinaikkan ke kapal, tidak boleh dikait di bagian tubuh, tetapi di bagian kepala atau insang. 
ii)    Pelumpuhan (stunning)
Ikan yang menggelepar sebelum mati akan memerlukan banyak energi sehingga dapat menyebabkan mutu ikan menurun dan dapat mempercepat proses pembusukan. Menurut Ilyas (1993), ikan yang menggelepar menghadapi kematian akan akan menimbulkan gejala shimi atau pendarahan dalam di bagian ekor. Oleh karena itu, ikan harus dilumpuhkan setelah dinaikkan ke kapal. Melumpuhkan ikan yang baru naik dabn menggelepar di geladak adalah dengan cara memukul ikan antara matanya dengan palu yang dilapisi karet, lalu dimasukkan paku ke dalam otak tepat dibelakang mata. Kalau masih menggelepar, ikan dapat ditenangkan dengan cara menekankan telapak tangan ke matanya.
iii)    Pembuangan darah
Ikan tuna yang telah dilumpuhkan, segera dibuang darahnya. Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), pembuangan darah diharuskan untuk ikan tuna beku. Tujuan pembuangan darah untuk mencegah daging menjadi berasa asam akibat asam laktat. Pembuangan darah ikan tuna bahan sashimi harus dilakukan dengan hati-hati, sayatan yang berlebihan dapat menyebabkan penetrasi darah ke dalam daging.
   
     Menurut Ilyas (1993), pembuangan darah ikan tuna dapat dilakukan  dengan cara pemotongan tenggorokan atau insang, yang terbaik adalah memotong urat darah utama. Caranya, mengangkat sirip dada dan menusukkan pisau tipis yang tajam tepat di belakang sirip untuk memotong arteri. Kalau darah tidak sempurna mengalir dan sempat menggumpal sebelum meninggalkan tubuh akan menyebabkan diskolorisasi coklat dan penceceran darah dalam daging, sehingga mengakibatkan rusaknya cita rasa dan turun nilai serta mutunya.
iv)    Penyiangan 
Ikan tuna yang telah dikeluarkan darahnya kemudian disiangi, yaitu dibuang insang dan isi perutnya. Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), pembuangan insang dan isi perut ikan dapat dilakukan dengan cara insang dipotong pada titik penempelannya kemudian membran di belakang insang berikut dengan isi perut ditarik ke luar melalui celah insang. Insang dilepas dengan memasukkan pisau dibelakang tutup insang kemudian menggesernya ke depan pada bagian atas sekitar 5 cm. Tutup insang kemudian dibuka dan bagian insang yang menempel kepala dipotong. Membran insang dipisahkan ke sisi lain dan didorong ke depan. Jika kedua membran insang telah dipisahkan, insang dibuka sehingga ruang bagian depan insang tampak jelas. Membran di sekitar insang dibuang dengan menyayat kulit sedalam ±3 mm. Pembuangan isi perut tanpa membelah perut mengurangi kontaminasi bakteri dan mempertahankan penampilan ikan. Pada umumnya isi perut dibuang dengan memasukkan pisau sedalam 3-5 cm tepat pada lekukan di belakang pangkal sirip dada pada kedua sisi ikan. Sayatan dangkal dibuat dari sirip itu ke belakang. Sayatan itu harus dangkal agar tidak memecahkan isi perut dan ikan tetap bersih. Isi perut ditarik dan saluaran anus dipotong di dekat pangkalnya. Sirip-sirip juga dipotong setelah itu.
v)    Pencucian
Pembuangan isi perut dan insang menyebabkan ikan kotor dengan darah. Selain itu, ikan yang telah mati akan mengeluarkan lendir di permukaan tubuhnya. Oleh karena itu, ikan harus dibersihkan dengan sikat dan dicuci dengan air bersih. Menurut Ilyas (1993), ikan yang telah disiangi dicuci dengan air laut bersih dingin yang dialirkan terus menerus. Murniyati dan Sunarman (2004) menambahkan, untuk membersihkan kotoran pada ikan dapat digunakan sikat kawat. Sedangkan untuk membersihkan lendir dapat digunakan sikat yang terbuat dari bahan yang lunak, misalnya plastic. Sikat digerakkan satu arah dari kepala ke ekor. Penyikatan dua arah dapat menyebabkan sisik-sisik terlepas.
vi)    Pembekuan
Pembekuan ikan tuna dapat dilakukan dengan cara meniupkan udara dingin, yaitu menggunakan Air Blast Freezer. Setelah ikan dicuci, ikan dimasukkan ke dalam Air Blast Freezer secara bertahap pada suhu -60ºC selama 10 jam 57 menit sehingga ikan tuna membeku seutuhnya.
vii) Glazin
g
Ikan yang telah dikeluarkan dari Air blast freezer segera di-glazing, yaitu dilapisi es untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Glazing dilakukan dengan cara mencelupkan ikan ke dalam bak yang berisi air yang bersuhu 1ºC -5ºC sehingga terbentuk selubung es. Menurut Moeljanto (1992), glazing dilakukan setelah ikan dikeluarkan dari freezer, yaitu dengan cara mencelupkan produk ke air yang bersuhu 1ºC -5ºC.
Proses glazing diperlukan pengendalian yang baik. Menurut Adawyah (2007), glazing yang dilakukan pada ikan bersuhu -30ºC atau lebih rendah akan menghasilkan selubung es yang retak-retak akibat tekanan termal selama pembentukan es dan mudah lepas dalam penanganan berikutnya. Ikan yang dicelupkan terlalu lama di dalam air menyebabkan selubung es yang terbentuk menjadi tebal, tetapi lunak dan mudah lepas.
viii)
Penyimpanan
Ikan yang telah di-glazing segera dimasukkan dalam cold storage. Pemindahan ikan ke dalam cold storage dilakukan dengan menggunakan tali yang diikatkan pada bagian pangkal ikan kemudian dihubungkan dengan katrol. Ikan tuna beku disimpan pada suhu -30ºC.


2.3 Tuna Loin
2.3.1 Deskripsi Produk

            Tuna loin beku adalah suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut:  sortasi, pemotongan kepala, sirip dan ekor, pencucian, pembuatan loin, pembuangan daging gelap, pembuangan kulit dan perapihan, pembekuan dengan atau tanpa penggelasan, pengepakan dan penyimpanan beku (Ditjenkan, 1993).
            Menurut SNI 01-4104-2006, bahwa semua jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna loin namun pada umumnya bahan baku tuna loin adalah yellowfinbluefinbigeye dan longfin.

2.3.2 Proses Pengolahan Tuna Loin Beku
Penanganan yang kasar dan ceroboh harus dicegah, saat dinaikkan ke atas kapal jangan terbentur benda keras, jangan terjatuh bengkok, dan tidak banyak kehilangan tenaga artinya tidak banyak berjuang keras menghadapi kematiannya yang dapat menjadi penyebab kerusakan mutu ikan segar karena proses rigor mortis yang berlangsung cepat (Murnyati dan Sunarman, 2000).
Pengolahan bahan baku yang dilakukan secara cermat akan menghasilkan produk bermutu baik. Cara penanganan dan proses pengolahan bahan baku, penanganan, distribusi, dan pemasaran produk pangan berpengaruh terhadap mutu produk pangan yang dipasarkan (Afrianto, 2008). 
            Tuna loin beku adalah tuna yang telah mengalami perlakuan sehingga suhu pusatnya maksimum -18oC, merupakan produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan dan penyimpanan. Standar mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik sanitasi dan higiene, syarat mutu dan keamanan pangan, pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna loin beku. (http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7576, 2010).
Berdasarkan SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin beku dibedakan menjadi dua berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan, yaitu bahan baku tuna segar dan bahan baku tuna beku.

2.3.2.1 Bahan Baku Tuna Segar

Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
            Menurut Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan lendir atau kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna, kemudian disortasi menurut ukuran dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk pengolahan tuna loin adalah yang berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat diterima sebagai bahan baku loin adalah Warna daging kemerah-merahan seperti merah semangka untuk jenis Yellowfin tuna sedangkan untuk jenis Big eye tuna merahnya seperti bungrose (dihindarkan warna daging ikan yang pucat/putih)Elastis atau daging masih kenyal tidak boleh pecah atau mudah hancur, dan kecerahan tuna bila diusap seperti kaca.
            Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya ikan. Pada umumnya ikan dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20 cm, sedangkan ikan dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm. Ukuran panjang keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung mulut ikan sampai dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).
Pemotongan Kepala, Sirip dan Ekor
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
            Pemotongan dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada bagian samping kiri kanan daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan pembelahan dari pangkal kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah dengan linea literalissehingga bisa lepas (Ditjenkan, 1993).
Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus masih aktif.  Jika usus dan alat pencernaan yang banyak mengandung enzim tidak dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan saluran pencernaan dan menghancurkan dinding perut (Junianto, 2000).
Pencucian
            Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4.4°C.Pencucian  ini bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh  ikan sehingga  bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
Pencucian bahan pangan yang ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses selanjutnya. Pencucian dilakukan dalam air mengalir, bersih dan sudah didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto, 2008).
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4°C. Pembuatan loin ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen
Pengulitan dan Perapihan
Tahap berikutnya yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan bentuk loin dan membuang lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan daging guna mencegah terjadinya kontaminasi.
Sortasi Mutu
                Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Menurut Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang seragam. Pemisahan ini akan menjaga mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan baku bermutu baik akan dapat dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif sama.
Menurut Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam ruang pengolahan bahan baku harus diperiksa dan disortir dengan cara saniter hanya bahan baku yang memenuhi syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah.
Pembungkusan (Wrapping)
Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal      -18°C dalam waktu maksimal 4 jam.
Pembekuan adalah cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah hasil perikanan. Keunggulan paling utama dibanding cara pengolahan yang lain adalah kemapuan  pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau produk hasil perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan adalah pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku. Kondisi ini menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku, sehingga dapat memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan adalah suatu cara pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal sampai mencapai -180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah menjadi es (Soen’an, 2002).
Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. Tujuan dari penimbangan ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter sehingga melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

2.3.2.2 Bahan Baku Tuna Beku

Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal -18°C. Dengan demikian akan didapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis.
Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal -18°C. Penyiangan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C
 Pengulitan dan Perapihan
Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C
Okada (1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80% hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna.
Pembekuan
Loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat pembeku (Freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai maksimum -18°C secara cepat. Bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal   -18°C secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
Menurut Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang diambil diikuti dengan turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian kadar air yang terkandung dalam produk menjadi es.
 Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. tujuannya adalah untuk mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal ini bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.

2.3.2.3 Penyimpanan

Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal -25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C. Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
          Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap  upaya pencegahan rekontaminasi (Afrianto, 2008).

2.3.3 Persyaratan Bahan Baku
                                                                             
Menurut SNI  01-4104-2006, bahan baku Tuna Loin  Beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa Tuna Loin Beku.  Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus berasal dari perairan yang tidak tercemar serta secara organoleptik bahan baku tersbut harus mempunyai karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut :
Rupa dan warna          : bersih, warna daging spesifik jenis tuna
Bau                              : segar spesifik jenis, dan berbau rumput laut segar
Rasa                            : manis spesifik jenis ikan tuna
Konsistensi                  : elstis, padat dan kompak

2.3.4 Persyaratan Mutu Tuna Loin Mentah Beku

            Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu berdasarkan SNI 01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Standar Mutu Tuna Loin Beku
JENIS UJI
SATUAN
PERSYARATAN
Organoleptik
Skala hidonik 1-9
Minimal 7
Cemaran mikroba*:
ALT
Eschericia coli
salmonella
vibrio cholera

Koloni/gram
APM/gram
APM/gram
APM/gram

5 x 105
<2
negatif
negatif
Cemaran kimia* :
Raksa (Hg)
Timbal (Pb)
Histamin
Cadmium (Cd)

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

maksimal 1
maksimal 0,4
maksimal 100
maksimal 0,5
Fisika :
Suhu pusat

oC

Maksimal -18
Parasit
Ekor
Maksimal 0
Catatan * bila diperlukan

2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin

Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu diluar ruangan (Adawyah, 2008).
Menurut Sarmono (2002), besarnya pengaruh suhu terhadap daya awet ikan segar dapat dijelaskan antara lain, pada suhu 0oC ikan dapat awet selama 15 hari, pada suhu 4,4oC ikan dapat awet selama 6 hari dan pada suhu 15,6oC ikan dapat awet hanya 3 hari.
Pada suhu rendah (dingin dan beku), proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat. Selain itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat diperlambat. Dengan demikian. Kesegaran ikan akan semakin lama dipertahankan (Junianto, 2003).  
Menurut Moeljanto (1992), penerapan rantai dingin ini dilakukan dengan pengusahaan suhu rendah sekitar 00C mulai dari tahap awal sampai akhir. Dengan mendinginkan ikan sampai sekitar 00C kita dapat memperpanjang masa kesegaran (daya simpan, shelf-life) ikan sampai 12-18 hari sejak saat ikan itu ditangkap dan mati, tergantung pada jenis ikan, cara penanganan dan keadaan pendinginannya, untuk ikan tuna yang ditangani dan didinginkan dengan baik sejak ditangkap, dapat bertahan sampai 21 hari sebelum dinyatakan tidak layak untuk dimakan manusia (Murniyati dan Sunarman, 2000). Menurut Ilyas (1993), kecepatan penurunan mutu kesegaran ikan sampai saat ikan menjadi busuk, dipengaruhi oleh suhu, semakin rendah suhu produk semakin awet kesegarannya dan semakin tinggi kadar awal bakteri bahan mentah sebelum dibekukan, relative akan besar pula jumlah bakteri yang tersisa sesudah pembekuan dan penyimpanan beku.
Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15oC efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8oC menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan.

2.4.1 Pendinginan

Pendinginan umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan pada suhu lebih rendah dari 13oC karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak (www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium yang lebih dingin dari-nya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas. Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry ice (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah di daratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran ikan, biasanya10–14 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).
Menurut Irawan (1995), banyak cara yang dilakukan dalam pengawetan dengan pendinginan, diantaranya adalah dengan es (termasuk es kering dan es biasa), larutan garam dingin, udara dingin dan lain-lain.

2.4.2 Pembekuan

Pembekuan berarti mengubah kandungan cairan yang terdapat pada sebagian besar tubuh ikan itu menjadi es. Ikan akan mulai membeku pada suhu antara -0,6oC sampai -2oC, atau rata-rata pada -1oC. yang mula-mula membeku adalah air bebas (free water), disusul oleh air terikat (bound water). Pembekuan dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling akhir (Adawyah, 2008).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), Pembekuan membutuhkan pengeluaran panas dari tubuh ikan. Prosesnya, terbagi atas tiga tahapan, yaitu
·         Pada tahap pertama suhu menurun dengan cepat hingga saat tercapainya titik beku (20oC hingga 0oC).
·         Kemudian, pada tahapan kedua suhu turun perlahan-lahan (0oC hingga mencapai -5oC)karena dua hal yaitu penarikan panas dari ikan bukan berakibat pada penurunan suhu, melainkan berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh ikan dan terbentuknya es pada bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi proses pendinginan dari bagian-bagian di dalamnya.
·         Pada tahapan ketiga, jika kira-kira ¾ bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat kembali (dibawah -5oC).

Waktu yang dibutuhkan ikan dalam pembekuan untuk melintasi tahapan kedua (0oC hingga -5oC ) disebut thermal arrest time. Berdasarkan panjang-pendeknya waktu ini, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu pembekuan cepat (quick freezing) yang tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow freezing atau sharp freezing) yang lebih dari dua jam.
Pembekuan cepat dan pembekuan lambat mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang terbentuk. Semakin cepat pembekuan semakin kecil kristal es yang terbentuk, sebaliknya semakin lama pembekuan semakin besar kristal es yang terbentuk. Oleh karena itu, pada pembekuan lambat jika dicairkan kembali maka kristal yang mencair akan mendesak dan merusak susunan jaringan daging serta menimbulkan terjadinya drip yang cukup banyak. Dengan demikian, pembekuan lambat menghasilkan produk ikan bermutu rendah karena terjadinya denaturasi protein, khususnya pada suhu -1oC dan -2oC (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Pembekuan adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi sekitar         -18oC, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif (www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Dalam melakukan pembekuan, baik yang dilakukan dilaut (kapal) maupun yang dilakukan di darat (perusahaan/pabrik pengawetan ikan), tata cara tidak berbeda. Proses pelaksanaan awalnya adalah memisahkan ikan menurut ukurannya. Jadi, antara ikan ukuran kecil, sedang dan besar tidak tercampur menjadi satu (Irawan, 1995).
Blok-blok ikan harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu. Sistem pemberian etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu yang memuat bahan baku untuk membantu identifikasi produk akhir. Bila dipakai alat pembeku yang horizontal, bahan baku harus dipak dalam pan pembeku atau alat lain agar didapatkan blok-blok ikan yang seragam. Bila digunakan alat pembeku plat yang vertikal, bahan baku harus dipak dengan baik diantara plat pembeku sehingga sedikit mungkin terdapat ruangan udara. Bila hasil perikanan dibekukan tanpa dibungkus terlebih dahulu, harus diatur dengan rapi dalam pan-pan aluminium,atau bahan-bahan lain yang sejenis (Ditjenkan,1997).

Berdasarkan cara kerjanya, terdapat beberapa jenis alat-alat pembekuan antara lain sebagai berikut:
Air Blast Freezing
Freezer ini memanfaatkan udara dingin sebagai refrigerant. Alat ini terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe ruangan, terowongan dan tipe ban berjalan (belt conveyor) (Hariadi, 1994).
Contact Plate Freezing
Contact Plate Freezer sangat cocok untuk membekukan produk-produk perikanan yang dikemas dalam kotak-kotak persegi, dengan bobot 1-4 kg. Pada pembekuan sistem ini, produk yang dibekukan dijepit di antara dua plat berongga yang diisi refrigerant (Hariadi, 1994).
Immersion freezing
Jenis freezer ini khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna (tongkol besar), udang dengan kepala. Cara pembekuannya yaitu dengan mencelupkan ikan kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17oC atau dengan menyemprotkan ikan memakai brine dingin itu (Moeljanto, 1992).
Cryogenic freezing
Cryogenic freezer adalah jenis freezer yang menggunakan CO2 dan N2 cair. Jenis freezer ini dapat menghasilkan suhu yang sangat rendah, yaitu –78oC untuk COcair dan –196oC untuk N2 cair (Moeljanto, 1992).
Pembekuan dengan IQF freezer
            Pembekuan dengan IQF (Individually Quick Frozen) freezer bertujuan agar tiap potong ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu sama lain. Olahan ikan atau jenis makanan lain masuk ke dalam freezer dengan conveyor pada suhu 5-10oC dan keluar dalam keadaan beku dengan suhu -18o sampai -20oC, waktu pembekuan 20 menit sampai 45 menit tergantung pada ketebalan produk (Moeljanto, 1992).
Sharp Freezing
Pembekuan dengan Sharp freezer ini termasuk pembekuan secara lambat. Adapun cara pembekuannya adalah dengan meletakkan produk-produk pada sejumlah rak pendingin yang disusun secara horizontal. Rak-rak tersebut terdiri dari pipa-pipa pendingin, dengan menggunakan refrigerant Amonia atau Freon 12.

 Kerusakan Mutu Produk dan Cara Mengatasi
2.5.    Waktu Pembekuan
Produk ikan tuna beku berbeda dengan produk ikan beku lainnya, karena perlu penanganan khusus sebelum dan selama pembekuan. Suhu pembekuan untuk raw material atau tuna utuh berbeda dengan suhu pembekuan untuk ikan lainnya. Setelah ditangkap, sesegera mungkin ikan tuna tersebut dihilangkan insang dan isi perutnya baru kemudian segera disemprot dengan menggunakan air dingin untuk menurunkan suhunya, selanjutnya bahan baku ikan tuna dibekukan dalam bentuk utuh (whole). Suhu media yang digunakan untuk membekukan ikan tuna tersebut adalah -600C.  Waktu pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu produk dari suhu awal hingga mencapai suhu tertentu pada bagian tengah produk. Kebanyakan tata cara pembekuan menetapkan bahwa rata-rata atau keseimbangan suhu ikan, setara dengan suhu penyimpanan di dalam cold storage. Oleh karena itu, suhu final bagian tengah ikan harus dipilih sebagai acuan dalam menetapkan agar rata-rata suhu ikan sama dengan suhu penyimpanan. Di dalam freezer, suhu permukaan ikan dengan cepat turun mendekati -30 0C. Jika bagian tengah ikan suhunya -20 0C, rata-rata suhu ikan akan mendekati suhu penyimpanan -30 0C. Dalam hal ini, waktu pembekuan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu bagian tengah ikan menjadi -20 0C (Murniyati dan Sunarman, 2004). Waktu yang diperlukan untuk menurunkan suhu dari suhu bahan mula-mula sampai dengan suhu pada saat bahan tersebut mulai membeku dikatakan sebagai waktu pembekuan (Hadiwiyoto, 1993).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), faktor yang menentukan dalam waktu pembekuan antra lain adalah sebagai berikut :
1.    Jenis freezer, misalnya dalam pemindahan panas yang lebih baik dalam freezer air garam akan membekukan produk lebih cepat dari pada di dalam air blast freezer pada suhu kerja yang sama.
2.    Suhu kerja, makin rendah suhu freezer, makin cepat ikan membeku. Namun biaya pembekuan meningkat jika suhu kerja freezer diturunkan.
3.    Kecepatan udara dalam air blast freezer, waktu pembekuan berkurang jika kecepatan udara ditingkatkan. Namun faktor ini juga tergantung dari faktor lain misalnya jika hambatan pemindahan panas oleh lapisan udara diam itu penting, peningkatan kecepatan sangat nyata memperpendek waktu pembekuan, tetapi apabila ukuran pengepakannya besar dan hambatan dari ikan sendiri merupakan faktor penting, maka kecepatan udara akan kurang berpengaruh.
4.    Suhu produk sebelum pembekuan, makin rendah suhu produk, makin pendek waktu pembekuan.
5.    Tebal produk, makin tebal produk makin panjang waktu pembekuan. Untuk produk yang terbalnya kurang dari 50 mm, bila tebalnya dilipatduakan, waktu pembekuannya akan lebih dari dua kali.
6.    Bentuk produk, ikan berpenampang bulat akan membeku dalam ⅔ waktu yang dibutuhkan oleh ikan pipih dengan tebal yang sama. Oleh karena itu bentuk ikan atau pengepak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap waktu pembekuan.
7.    Luas permukaan peringgungan dan kepadatan produk, persinggungan yang buruk antara produk dengan pelat pembeku akan meningkatkan waktu pembekuan. Buruknya kotak itu terjadi karena adanya es di permukaan pelat, pak-pak yang tidak seragan tebalnya, pak tidak terisi penuh, atau rongga udara pada permukaan blok.Rongga udara di permukaan blok disertai juga dengan rongga di dalam blok yang akan menghambat transfer panas.
8.    Pengepakan produk. Udara yang terperangkap di antara produk dan pembungkus sering menjadi pemghambat perpindahan panas yang lebih besar dari pada bahan pembungkus itu sendiri.
9.    Jenis ikan, makin tinggi kandungan minyak ikan , makin rendah kandungan airnya. Air yang semakin sedikit membuat makin sedikit pula panas yang harus diambil untuk pembekuan ikan.

KESIMPULAN
Tuna merupakan salah satu bahan makanan yang mudah membusuk. Apabila tuna yang baru ditangkap tidak diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka tuna tersebut mutunya menurun Cara penanganan bahan baku yang baik akan menghasilkan produk pangan yang bermutu.
Penanganan Tuna bertujuan untuk memperoleh bahan baku yang bermutubaik Apabila bahan baku ini diolah akan menghasilkan produk yangbermutu serta aman dikonsumsi.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

sanitasi dan higien perusahaan rajungan kaleng

Abon ikan