tuna beku
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikanan
merupakan salah satu komponen PDB nasional yang memberikan kontribusi terhadap
penerimaan devisa negara. Tahun 2007 sektor perikanan memberi kontribusi kurang
lebih 17,7 persen pada sektor pertanian dengan nilai mencapai Rp 96.822,1
Milyar, menempati urutan kedua setelah sektor tanaman bahan makanan. Namun
dilihat dari pertumbuhannya, tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 5,39
persen, menurun dari periode sebelumnya tahun 2006 yang pertumbuhannya sebesar
6,90 persen. Walaupun demikian, jika melihat potensi sumber daya perikanan yang
dimiliki Indonesia, pertumbuhan kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih
dapat ditingkatkan (BPS. 2007).
Indonesia
memiliki potensi sumber daya perikanan yang besar, salah satunya berasal dari
sumber daya perikanan laut. Laut Indonesia dengan luas kurang lebih 5,8 juta
km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, memiliki potensi sumber daya
perikanan yang besar, baik dari segi kuantitas maupun diversitas. Potensi
lestari produksi sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebanyak 6,4 juta
ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI
(Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia) dengan keanekaragaman spesiesnya mencapai
lebih dari 28000 spesies. Dari segi produksi, sektor perikanan baik perikanan
tangkap maupun budidaya menunjukkan peningkatan. Produksi perikanan nasional
pada periode 2004-2007 terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,5
persen/tahun. Perikanan tangkap mendominasi dengan rata-rata persentase
produksi sebesar 67,5 persen (DKP. 2005).
Ikan
tuna, sebagai salah satu komoditi unggulan dalam ekspor perikanan Indonesia,
sampai saat ini masih prospektif dalam perdagangan internasional. Peluang untuk
meningkatkan volume ekspor tuna masih sangat terbuka. Beberapa faktor penunjang
masih terbukanya peluang tersebut diantaranya, pertama, permintaan ikan tuna
yang selalu ada dan cenderung meningkat setiap tahun. Hal ini dapat dilihat
dari perkembangan volume ekspor tuna Indonesia yang terus meningkat pada
periode 2005-2007. Meningkatnya kesadaran manusia terhadap produk perikanan
sebagai makanan yang sehat dan bernilai gizi tinggi, rendah kolesterol, serta
mengandung asam lemak tak jenuh omega 3, mendorong minat konsumen terutama
konsumen luar negeri terhadap tuna (DKP. 2005).
Ikan
tuna memiliki semua kelebihan-kelebihan tersebut. Kedua, Indonesia merupakan
negara yang berpotensi besar sebagai penghasil tuna. Posisi perairan Indonesia
yang terletak diantara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memberikan
keuntungan karena lokasi tersebut merupakan daerah perlintasan ikan tuna.
Potensi lestari ikan tuna dan cakalang diperkirakan mencapai 886.600 ton/tahun
atau sekitar 20 persen dari total potensi ikan tuna dan cakalang dunia pertama.
Dari segi produksi, tahun 2007 volume produksi ikan tuna Indonesia mencapai
191.558 ton, meningkat sebesar 20,17 persen dari volume produksi ikan tuna
tahun 2006 sebesar 159.405 ton. Ketiga, Indonesia memiliki jenis ikan tuna
dengan berbagai spesies yang memiliki nilai jual tinggi. Upaya peningkatan
ekspor tuna harus didukung oleh peningkatan kuantitas, kualitas, dan nilai
tambah tuna. Dibutuhkan usaha yang serius dalam hal penelitian dan pengembangan
berbagai aspek, mulai dari aspek produksi distribusi,
hingga pemasaran. Perlu upaya terpadu agar usaha ekspor tuna dapat terus
berkembang dalam menghadapi tantangan yang ada. Peran pemerintah dan pelaku
usaha terkait harus lebih dioptimalkan. Salah satunya adalah perusahaan
pengolahan tuna untuk ekspor. (Purnomo et al. 2007).
B. RUMUSAN MASALAH
Pengenalan Umum Tuna
Menurut Junianto (2003), tuna merupakan salah satu jenis
ikan yang berharga sangat mahal. Oleh karena itu, metode penangkapan
tuna sangat penting artinya untuk mendapatkan nilai jual ikan tuna yang sangat
tinggi. Penanganan dan pengolahan ikan tuna di atas kapal sangat penting untuk
diketahui dan dipahami dalam upaya menjaga konsistensi kualitas produk. Untuk
mendapatkan kualitas tuna yang baik, penanganannya sudah dimulai sejak
dilakukan penangkapan. Pemahaman tentang biologi tuna akan mempermudah
penanganan ikan tuna.
2.1.1 Klasifikasi Tuna
Menurut
Junianto (2003) bahwa dalam sistem klasifikasi, tuna termasuk family
Scombroidea dimana salah satu ciri dari ikan anggota Scombroidea yaitu
kandungan asam amino bebas histidin yang tinggi.
Menurut Saanin (1983 dalam Widiastuty (2007), ikan tuna
diklasifikasikan sebagai berikut:
Sub Phylum : Vertebrata
Class :
Teleostei
Ordo :
Percomorphi
Sub
ordo : Scombroidae
Familia :
Scombroidea
Genus :
Thunnus
Species : Thunnus
Albacores
Thunnus
Obesus
Thunnus
alalunga (albacore)
Thunnus
tongkol (longtail
tuna)
Thunnusmaccoyii
(southern bluefin tuna)
Menurut Tampubolon (1983), spesies tuna yang dianggap paling komersil
adalah seperti pada
Tabel 1 dibawah
ini.
Tabel 1. Jenis
Ikan Tuna dan Nama Perdagangannya.
Nama Indonesia
|
Nama Perdagangan
|
Nama Latin
|
Albakora
|
Albacore
|
Thunnus alalunga
|
Abu-abu Selatan
|
Southern bluefin
|
Thunnus maccoyii
|
Abu-abu Utara
|
Northern bluefin
|
Thunnus thynnus
|
Cakalang
|
Skipjack
|
Katsuwonus Pelamis
|
Madidihang
|
Yellowfin
|
Thunnus albacores
|
Matabesar
|
Bigeye
|
Thunnus obesus
|
Tongkol
|
Little tuna
|
Euthynnus affinis
|
Tongkol pisang
|
Frigated mackerel
|
Auxis thazard
|
2.1.2 Morfologi Tuna
Umumnya badan ikan tuna tampak padat, silindris panjang. Mulutnya cukup
lebar, posisinya terletak di muka sedikit di bawah matanya. Mempunyai
gigi kecil dan runcing yang makin ke belakang makin kecil ukurannya. Matanya lebar,
mempunyai dua sirip dorsal yang berdekatan, di belakang sirip dorsal yang kedua
sampai ekornya terdapat 8-9 sirip-sirip kecil. Sirip-sirip demikian juga
terdapat antara sirip anal dan ekornyadibagian bawah badan (Hadiwiyoto, 1993).
Tuna mempunyai panjang antara 40 cm – 200 cm dengan berat antara 3-130 kg. Tuna terbagi atas beberapa
jenis seperti Yellow fin tuna, Albacore, Long tail tuna, Black
fin tuna, dan Southern blue fin tuna. Sedangkan di
Indonesia jenis-jenis yang tertangkap adalah Yellow fin tuna atau
madidihang, Big eye tuna atau biasa di sebut tuna mata besar,Albacore, dan Southtern
blue fin tuna (Tampubolon, 1983 dalam Novriyanti, 2007).
2.1.3 Komposisi Daging Tuna
Ikan
tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang
rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak
antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral
kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B golongan
thiamin, riboflavin dan niasin (Departemen of Health Education and Walfare
1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000),
komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis, umur, kelamin dan
musim. Perubahan yang nyata terjadi pada kandungan lemak sebelum
dan sesudah memijah. Kandungan lemak juga berbeda nyata pada bagian
tubuh yang satu dengan yang lain.
Menurut Soen’an
(2004), bahwa semakin bertambah usia, kandungan lemaknya semakin tinggi. Ikan
yang bermigrasi dalam kondisi buruk dapat menurunkan lemaknya. Pada masa
setelah bertelur lemak ikan meninggi. Dan ikan yang tinggal di habitat yang
kaya makanan banyak mengandung lemak.
Untuk lebih
jelasnya komposisi kimia ikan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi
Kimia Ikan Tuna (%)
Species
|
Air
|
Protein
|
Lemak
|
Karbohidrat
|
Abu
|
Bluefin
|
68,70
|
28,30
|
1,40
|
0,10
|
1,50
|
Southern Bluefin
|
65,60
|
23,60
|
9,30
|
0,10
|
1,40
|
Yellow Fin
|
74,20
|
22,20
|
2,10
|
0,10
|
1,40
|
Skipjack
|
70,40
|
25,80
|
2,00
|
0,40
|
1,40
|
Marlin
|
72,10
|
25,40
|
3,00
|
0,10
|
1,40
|
Mackerel
|
62,50
|
19,80
|
16,50
|
0,10
|
1,10
|
Sumber : Murniyati dan Sunarman
(2000)
2.2 Penurunan Mutu Ikan
Setelah
ikan ditangkap/dipanen dan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan
organoleptik terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh reaksi kimia, enzim
autolysis dan aktifitas mikroba. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah
pada pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah hiperaemia, rigor
mortis, autolysis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang
baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini
ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan yang
membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh (Zaitsev et al, 1969 dalam
Ditjen P2HP, 2008).
Penurunan
mutu pada ikan yang terjadi dapat meliputi perubahan oleh karena proses
kimiawi, enzimatis, dan bakteriologis.
2.2.1
Kemunduran Mutu Secara Kimiawi
Kemunduran
mutu secara kimiawi meliputi terjadinya proses oksidasi lemak. oksidasi ini
terjadi karena enzim lipolitik mengurai lemak menjadi asam-asam lemak bebas dan
gliserol, dimana proses yang terjadi adalah oto-oksidasi, lipolisis, dan
lipoksida. Proses oto-oksidasi disebabkan oleh enzim hidroperoksida, lipolisis
disebabkan oleh enzim-enzim hidrolase atau lipase, dan lipoksidasi disebabkan
oleh enzim lipoksidase. Dan apabila pembongkaran lemak berlanjut maka akan
menghasilkan senyawa-senyawa keton, dan aldehid. Sehingga lemak mengalami
proses ketengikkan (Hadiwiyoto, 1993).
2.2.2 Kemunduran
Mutu Secara Enzimatis
Selama
ikan hidup, enzim ini menbantu proses metabolism makanan sehingga aktivitas
enzim selalu menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Tetapi setelah ikan
mati, sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol lagi, sehingga merusak
tubuhnya sendiri, seperti dinding usus, daging, bagian tubuh lain, serta
menguraikan senyawa yang semula kompleks menjadi senyawa lebih sederhana. Semua
hasil penguraian enzim selama proses autolysis merupakan media yang sangat
cocok untuk fase pertumbuhan bakteri (Sarmono, 2002).
Autolisis
adalah proses perombakan sendiri, yaitu proses perombakan jaringan oleh enzim
yang berasal dari bahan pangan itu tersebut. Proses autolysis terjadi pada saat
bahan pangan memasuki fase post rigor mortis. Ikan yang mengalami autolysis
memiliki tekstur tubuh yang tidak elastis, sehingga apabila daging tubuhnya
ditekan dengan jari akan membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan
semula. Proses autolisis dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di
sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses autolysis ikan yang
tidak diberi es (Afrianto, 2008).
Autolysis belum dapat disebutkan pembusukan
karena hasil hidrolisis protein dan lemak masih dapat dimakan
manusia. Namun demikian, autolysis merubah struktur daging
sehingga kekenyalannya menurun; daging menjadi lembek; terbagi menjadi
lapisan-lapisan dan terpisah dari tulang. Kerusakan ini menyebabkan bagian
perut sobek. Selain itu, pemecahan protein menghasilkan substrat yang disukai
bakteri yang menyebabkan pembusukan (Murniyati dan Sunarman, 2000). Kecepatan
autolisis tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan total, akan tetapi bisa
diperlambat. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya
bakteri (Junianto, 2003).
2.2.3 Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis
Fase
perubahan selanjutnya setelah autolysis adalah perubahan yang disebabkan oleh
aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri. Dalam keadaan masih hidup ikan
dianggap mengandung bakteri, bahkan ada yang menyebutkan steril, walaupun
sebenarnya pada tubuh ikan itu banyak dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup
memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas mikroorganisme itu, sehingga tidak
bermasalah bagi hidupnya (Sarmono, 2002).
Dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang bersifat
merusak (steril), meskipun di dalam lendir yang melapisi badan dan didalam
insang maupun sistim pencernaan terdapat banyak mikroorganisme (Moeljanto,
1992).
Aksi bakteri ini dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis
dan kemudian sejajar. Bakteri merusak lebih parah daripada kerusakan yang
diakibatkan oleh enzim (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Selama ikan hidup, bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang
saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang
bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barier)
terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati kemampuan barier tadi hilang
sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Junianto, 2003).
Daging ikan yang baru saja mati boleh dikatakan steril, tetapi sejumlah
besar bakteri bersarang dipermukaan tubuh, insang dan didalam perutnya. Bakteri
itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh
bakteri mulai berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu,
yaitu setelah daging mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan
(Murniyati dan Sunarman, 2000).
Menurut Murniyati dan
Sunarman (2000), untuk dapat hidup dengan baik,
bakteri memerlukan suhu tertentu tergantung jenisnya. Ada tiga macam
jenis bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran
Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.
Jenis Bakteri
|
Suhu Minimum
|
Suhu Optimum
|
Suhu Maksimum
|
Thermophylic
Mesophylic
Psycrophylic
|
25 - 450C
5 – 250C
00C
|
50 – 550C
25 – 370C
14 – 200C
|
60 – 800C
430C
300C
|
2.2.4 Histamin
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada famili ikan scromboidae atau lebih dikenal
dengan tuna. Pada jenis ikan tuna yang memiliki dua jenis daging
yaitu putih dan gelap justru daging-daging putihlah yang tinggi
histaminnya sedangkan daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging merah
lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa
daging merah justru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging
merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO) yang
berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Histamin
di dalam daging diproduksi oleh enzim yang menyebabkan meningkatnya pemecahan
histidin melalui proses dekarboksilase (Winarno, 1993).
Menurut Hadiwiyoto (1993), degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase menjadi
histamin. Senyawa histamin mungkin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya
dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun
yang dalam beberapa hal menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid
Food Poisoning”.
Keberadaan
histamin pada bahan pangan menandakan tingkat kemunduran mutu bahan tersebut.
Pembentukan amina biogenic ini tergantung dari ketersediaan asam amino bebas,
keberadaan dekarboksilase yang dikandung mikroorganisme (bakteri dengan enzim
yang menyebabkan dekarboksilasi asam amino bebas) dan kondisi yang mendukung
pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim (Putro, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri,
sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang
terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain yang mengkontaminasi
ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA telah dikeluarkan
pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi
penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan
50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan
kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki
kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor (Winarno, 1993).
Dari ratusan jenis bakteri yang diteliti ada tiga jenis yang mampu
memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu antara lain Proteus
morganii, Enterobacter aerogeneses, Clostridium prefringens.
Penyimpanan
ikan pada kondisi refrigerasi sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan
hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan dan menghindari
terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri penghasil
histamin selama ikan ditangani dan diolah (Public Health Divisin, 2002 dalam
Widiastuty, 2007).
Selama pendinginan kadar histamin tidak mengalami perubahan, tetapi pada
waktu pendinginan karena suatu hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka kadar
histaminnya akan meningkat, demikian juga jumlah bakteri akan meningkat 100
kali lebih banyak, tetapi bila pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24 jam
tidak berpengaruh terhadap kadar histamin (Winarno,1993).
Menurut
Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin telah terbentuk
selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau dimasak pada suhu
tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap potensial membahayakan
manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah (1990) dalam penelitiannya,
bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang bervariasi sesuai dengan asalnya
pada tubuh tuna dan lama penyimpanan.
1. Penanganan
ikan tuna diatas kapal
Tuna merupakan ikan ekonomis penting yang ada
di daerah PPSNZJ, ada dua jenis tuna yang diolah disini yaitu madidihang
(Thunnus albacores) dan tuna mata besar (Thunnus obesus).Madidihang memiliki
bentuk tubuh lebih ramping dan memiliki sirip dorsal yang lebih panjang
dibanding tuna mata besar. Tuna ditangkap menggunakan rawai tuna atau tuna
longline. Satu tuna longline biasanya mengoperasikan 1000-2000 mata pancing
untuk sekali turun. Setelah ditangkap, ikan lalu disortir. Penyortiran
dilakukan untuk meminimalisir bakteri pengurai sehingga ikan tidak cepat busuk.
Jenis penyortiran di atas kapal adalah sebagai berikut:
1. Headless (HDD)
Yaitu perlakuan ikan segar dengan cara
memotong kepala dan pangkal ekor. Contoh ikan yang mendapat perlakuan tersebut
adalah meka, marlin, dan layaran.
2. Gillnes (GTT)
Yaitu perlakuan ikan segar dengan memotong
seluruh bagian sirip dan membuang isi perut. Contoh: tuna
3. Whole (WHO)
Yaitu perlakuan ikan segar dengan membiarkan
seluruh tubuh tetap utuh. Contoh: cakalang, skipjack, dan tenggiri.
Setelah disortir, tuna langsung dimasukkan ke dalam palka. Ada
dua tipe pendinginan pada palka yaitu pendinginan menggunakan es curah dan pendinginan menggunakan freezer. Pendinginan menggunakan freezer lebih baik
dibanding es curah. Hal ini dikarenakan suhu pada freezer dapat diatur. Suhu
palka dipertahankan di bawah 5oC untuk mencegah kadar histamin naik.
2. Penanganan ikan tuna
di pelabuhan /dermaga
Pada saat tiba di pelabuhan, suhu palka di cek
untuk memastikan suhunya masih di bawah 5oC. Setelah di check, penutup seperti
tenda di pasang dari kapal ke tempat pendaratan tuna (TPT) untuk menghindari
tuna terkena sinar matahari pada saat pemindahan. Sinar matahari dapat
menaikkan histamine pada tuna.
Histamin adalah racun yang terdapat pada
seafood yang dapat terjadinya keracunan Histamin Fish Poisoning (HFP). Walaupun
tidak secara menyeluruh tetapi histamine ini ditemukan pada keluarga Scombridae
dan Scombresocidae yang meliputi tuna dan mackerel. Hal ini dikarenakan kedua
jenis ikan ini memiliki tingkat asam amino histidin yang tinggi pada dagingnya
yang secara alami mengalami perubahan dari histidin menjadi histamine akibat
adanya aktivitas bakteri (Mahendra, 2005).
Histamin di dalam daging diproduksi oleh enzim
yang menyebabkan dan meningkatkan pemecahan histidin melalui proses
dekarboksilaksi (pemotongan gugus karbon) (Chetfel et.al dalam Mahendra, 2005).
Ikan tuna segar pada dasarnya tidak mengandung histamine dalam dagingnya,
tetapi setelah mengalami proses pembusukan atau dekomposisi, daging ikan ini
mengandung histamine.
Pembentukan histamine pada setiap spesies
berbeda tergantung pada kandungan histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang
mengkontaminasi, serta suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi
mikroba (Pan dalam Mahendra, 2005).
Setelah ikan mati, sistem pertahan tubuhnya
tidak bias lagi melindungi dari serangan bakteri, bakteri pembentuk histamine
mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin
dan asam amino bebas lainnya pada daging ikan.
Enzim ini mengubah histidin dan asam amino
bebas lainnya menjadi histamine yang memiliki karakter yang lebih bersifat
alkali. Histamin terbentuk pada suhu sekitar 20°C. Segera setelah ikan mati,
pembekuan merupakan cara mencegah Scombrotoxin. Menurut Taylor (2002), Histamin
tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5°C.
Histamin dapat dihambat dengan cara menurunkan
suhu pada daging ikan sehingga suhu optimal yang dibutuhkan untuk terjadinya
perubahan histidin menjadi histamine tidak tercapai, hal ini harus dilakukan
sebelum histamine itu sendiri terbentuk karena histamine bersifat stabil pada
suhu 20°C (Bremmer et.al.,2003). Sehingga untuk mencegah kadar histamine
terbentuk, pada saat bekerja untuk memindahkan tuna, saya melakukannya secepat
mungkin kedalam TPT menggunakan slider untuk mencegah paparan sinar matahari
dan udara bebas terlalu lama.
· Penerimaan di TPT
Tempat penerimaan tuna untuk dikemas dinamakan
Tempat Pendaratan Tuna (TPT). Dari hasil pengamatan, tuna yang sudah masuk TPT
kemudian diuji secara organoleptik untuk memperkirakan mutu bahan baku, ukuran
dan jenis bahan baku yang sesuai.
Tujuan dari uji organoleptik adalah
mendapatkan bahan baku yang memenuhi persyaratan mutu dan terhindar dari
kontaminasi bakteri patogen serta bebas dari mata pancing.
Tuna segar yang diterima pada unit pengolahan
ditangani secara cepat, cermat dan bersih serta suhu pusat ikan dipertahankan
maksimal 4,4°C. Pemeriksaan terhadap mata pancing dilakukan terhadap setiap
ikan dengan membuka insang dan mulut. Pemerikasaan organoleptik dilakukan oleh
orang yang berpengalaman karena membutuhkan keterampilan khusus dan pengalaman
bertahun-tahun untuk membedakan kualitas tuna untuk ekspor.
Produk
2.4.1. Produk yang Dibekukan dan Proses Pembekuannya
2.4.1. Produk yang Dibekukan dan Proses Pembekuannya
Produk
yang akan dibekukan dengan air blast freezer adalah ikan tuna utuh tanpa ekor,
insang, dan isi perut atau sering disebut whole, gill, and gutted dengan mutu
sashimi. Prosedur pembekuan ikan tuna tersebut adalah sebagai berikut :
i) Penangkapan dan penanganan ikan
i) Penangkapan dan penanganan ikan
Ikan
tuna harus ditangkap dengan akibat stress kecil. Hal ini bertujuan untuk
menghindari penumpukan asam laktat dalam daging yang dapat mempercepat proses
pembusukan. Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), ikan tuna yang mengalami
stress yang berat, misalnya tuna meronta kuat selama 2 menit sebelum dinaikkan
ke kapal, sejumlah besar asam laktat terbentuk di dalam jaringan, menimbulkan
situasi asam. Jika kondisi ini digabung dengan temperatur tinggi, daging dapat
rusak berat, yaitu daging terbakar. Daging yang demikian tidak sesuai untuk
sashimi karena penampilannya tidak menarik, berasa asam, dan berasa logam. Saat dinaikkan ke
kapal, ikan harus masih hidup dan tidak boleh cacat. Jika dikait saat dinaikkan
ke kapal, tidak boleh dikait di bagian tubuh, tetapi di bagian kepala atau
insang.
ii)
Pelumpuhan (stunning)
Ikan
yang menggelepar sebelum mati akan memerlukan banyak energi sehingga dapat
menyebabkan mutu ikan menurun dan dapat mempercepat proses pembusukan. Menurut
Ilyas (1993), ikan yang menggelepar menghadapi kematian akan akan menimbulkan
gejala shimi atau pendarahan dalam di bagian ekor. Oleh karena itu, ikan harus
dilumpuhkan setelah dinaikkan ke kapal. Melumpuhkan ikan yang baru naik dabn
menggelepar di geladak adalah dengan cara memukul ikan antara matanya dengan
palu yang dilapisi karet, lalu dimasukkan paku ke dalam otak tepat dibelakang
mata. Kalau masih menggelepar, ikan dapat ditenangkan dengan cara menekankan
telapak tangan ke matanya.
iii) Pembuangan darah
iii) Pembuangan darah
Ikan tuna yang telah dilumpuhkan, segera dibuang
darahnya. Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), pembuangan darah diharuskan
untuk ikan tuna beku. Tujuan pembuangan darah untuk mencegah daging menjadi
berasa asam akibat asam laktat. Pembuangan darah ikan tuna bahan sashimi harus
dilakukan dengan hati-hati, sayatan yang berlebihan dapat menyebabkan penetrasi
darah ke dalam daging.
Menurut Ilyas (1993), pembuangan darah ikan tuna dapat dilakukan dengan cara pemotongan tenggorokan atau insang, yang terbaik adalah memotong urat darah utama. Caranya, mengangkat sirip dada dan menusukkan pisau tipis yang tajam tepat di belakang sirip untuk memotong arteri. Kalau darah tidak sempurna mengalir dan sempat menggumpal sebelum meninggalkan tubuh akan menyebabkan diskolorisasi coklat dan penceceran darah dalam daging, sehingga mengakibatkan rusaknya cita rasa dan turun nilai serta mutunya.
iv) Penyiangan
Menurut Ilyas (1993), pembuangan darah ikan tuna dapat dilakukan dengan cara pemotongan tenggorokan atau insang, yang terbaik adalah memotong urat darah utama. Caranya, mengangkat sirip dada dan menusukkan pisau tipis yang tajam tepat di belakang sirip untuk memotong arteri. Kalau darah tidak sempurna mengalir dan sempat menggumpal sebelum meninggalkan tubuh akan menyebabkan diskolorisasi coklat dan penceceran darah dalam daging, sehingga mengakibatkan rusaknya cita rasa dan turun nilai serta mutunya.
iv) Penyiangan
Ikan tuna yang telah dikeluarkan darahnya kemudian
disiangi, yaitu dibuang insang dan isi perutnya. Menurut Murniyati dan Sunarman
(2004), pembuangan insang dan isi perut ikan dapat dilakukan dengan cara insang
dipotong pada titik penempelannya kemudian membran di belakang insang berikut
dengan isi perut ditarik ke luar melalui celah insang. Insang dilepas dengan
memasukkan pisau dibelakang tutup insang kemudian menggesernya ke depan pada
bagian atas sekitar 5 cm. Tutup insang kemudian dibuka dan bagian insang yang
menempel kepala dipotong. Membran insang dipisahkan ke sisi lain dan didorong
ke depan. Jika kedua membran insang telah dipisahkan, insang dibuka sehingga
ruang bagian depan insang tampak jelas. Membran di sekitar insang dibuang
dengan menyayat kulit sedalam ±3 mm. Pembuangan isi perut tanpa membelah perut
mengurangi kontaminasi bakteri dan mempertahankan penampilan ikan. Pada umumnya
isi perut dibuang dengan memasukkan pisau sedalam 3-5 cm tepat pada lekukan di
belakang pangkal sirip dada pada kedua sisi ikan. Sayatan dangkal dibuat dari
sirip itu ke belakang. Sayatan itu harus dangkal agar tidak memecahkan isi
perut dan ikan tetap bersih. Isi perut ditarik dan saluaran anus dipotong di
dekat pangkalnya. Sirip-sirip juga dipotong setelah itu.
v) Pencucian
v) Pencucian
Pembuangan isi perut dan insang menyebabkan ikan
kotor dengan darah. Selain itu, ikan yang telah mati akan mengeluarkan lendir
di permukaan tubuhnya. Oleh karena itu, ikan harus dibersihkan dengan sikat dan
dicuci dengan air bersih. Menurut Ilyas (1993), ikan yang telah disiangi dicuci
dengan air laut bersih dingin yang dialirkan terus menerus. Murniyati dan
Sunarman (2004) menambahkan, untuk membersihkan kotoran pada ikan dapat
digunakan sikat kawat. Sedangkan untuk membersihkan lendir dapat digunakan
sikat yang terbuat dari bahan yang lunak, misalnya plastic. Sikat digerakkan
satu arah dari kepala ke ekor. Penyikatan dua arah dapat menyebabkan
sisik-sisik terlepas.
vi) Pembekuan
vi) Pembekuan
Pembekuan ikan tuna dapat dilakukan dengan cara
meniupkan udara dingin, yaitu menggunakan Air Blast Freezer. Setelah ikan
dicuci, ikan dimasukkan ke dalam Air Blast Freezer secara bertahap pada suhu
-60ºC selama 10 jam 57 menit sehingga ikan tuna membeku seutuhnya.
vii) Glazing
vii) Glazing
Ikan yang telah dikeluarkan dari Air blast freezer
segera di-glazing, yaitu dilapisi es untuk mencegah terjadinya dehidrasi.
Glazing dilakukan dengan cara mencelupkan ikan ke dalam bak yang berisi air
yang bersuhu 1ºC -5ºC sehingga terbentuk selubung es. Menurut Moeljanto (1992),
glazing dilakukan setelah ikan dikeluarkan dari freezer, yaitu dengan cara
mencelupkan produk ke air yang bersuhu 1ºC -5ºC.
Proses glazing diperlukan pengendalian yang baik.
Menurut Adawyah (2007), glazing yang dilakukan pada ikan bersuhu -30ºC atau
lebih rendah akan menghasilkan selubung es yang retak-retak akibat tekanan
termal selama pembentukan es dan mudah lepas dalam penanganan berikutnya. Ikan
yang dicelupkan terlalu lama di dalam air menyebabkan selubung es yang terbentuk
menjadi tebal, tetapi lunak dan mudah lepas.
viii) Penyimpanan
viii) Penyimpanan
Ikan yang telah di-glazing segera dimasukkan dalam
cold storage. Pemindahan ikan ke dalam cold storage dilakukan dengan
menggunakan tali yang diikatkan pada bagian pangkal ikan kemudian dihubungkan
dengan katrol. Ikan tuna beku disimpan pada suhu -30ºC.
2.3 Tuna Loin
2.3.1 Deskripsi
Produk
Tuna
loin beku adalah suatu produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan
tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: sortasi,
pemotongan kepala, sirip dan ekor, pencucian, pembuatan loin, pembuangan daging
gelap, pembuangan kulit dan perapihan, pembekuan dengan atau tanpa penggelasan,
pengepakan dan penyimpanan beku (Ditjenkan, 1993).
Menurut SNI 01-4104-2006, bahwa semua
jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna loin namun pada umumnya bahan baku
tuna loin adalah yellowfin, bluefin, bigeye dan longfin.
2.3.2 Proses
Pengolahan Tuna Loin Beku
Penanganan yang kasar dan ceroboh harus dicegah, saat dinaikkan ke atas
kapal jangan terbentur benda keras, jangan terjatuh bengkok, dan tidak banyak
kehilangan tenaga artinya tidak banyak berjuang keras menghadapi kematiannya
yang dapat menjadi penyebab kerusakan mutu ikan segar karena proses rigor
mortis yang berlangsung cepat (Murnyati dan Sunarman, 2000).
Pengolahan
bahan baku yang dilakukan secara cermat akan menghasilkan produk bermutu baik.
Cara penanganan dan proses pengolahan bahan baku, penanganan, distribusi, dan
pemasaran produk pangan berpengaruh terhadap mutu produk pangan yang dipasarkan
(Afrianto, 2008).
Tuna loin beku adalah tuna yang
telah mengalami perlakuan sehingga suhu pusatnya maksimum -18oC,
merupakan produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku
yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa
penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu,
pembungkusan (wrapping), pembekuan, penimbangan, pengepakan, pelabelan
dan penyimpanan. Standar mencakup klasifikasi, syarat bahan baku, bahan
penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan pengolahan, teknik
sanitasi dan higiene, syarat mutu dan keamanan pangan, pengambilan contoh, cara
uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna loin beku. (http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7576, 2010).
Berdasarkan
SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin beku dibedakan menjadi dua
berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan, yaitu bahan baku tuna segar dan
bahan baku tuna beku.
2.3.2.1 Bahan Baku Tuna Segar
Penerimaan
Bahan
baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,
cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Menurut
Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan lendir atau
kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna, kemudian disortasi menurut ukuran
dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk pengolahan tuna loin adalah yang
berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat diterima sebagai bahan baku loin
adalah Warna daging kemerah-merahan seperti merah semangka untuk jenis Yellowfin tuna
sedangkan untuk jenis Big eye tuna merahnya seperti bunga rose (dihindarkan
warna daging ikan yang pucat/putih), Elastis atau daging masih kenyal tidak boleh pecah atau mudah
hancur,
dan kecerahan tuna bila diusap seperti kaca.
Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya
ikan. Pada umumnya ikan dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20
cm, sedangkan ikan dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm.
Ukuran panjang keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung
mulut ikan sampai dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).
Pemotongan
Kepala, Sirip dan Ekor
Apabila
ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang
kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter
sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat
produk maksimal 4,4°C.
Pemotongan
dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan kebagian punggung sampai
tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada bagian samping kiri kanan
daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan pembelahan dari pangkal
kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah dengan linea
literalissehingga bisa lepas (Ditjenkan, 1993).
Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada
dalam perut dan usus masih aktif. Jika usus dan alat pencernaan yang
banyak mengandung enzim tidak dibuang maka enzim ini akan memecah jaringan
saluran pencernaan dan menghancurkan dinding perut (Junianto, 2000).
Pencucian
Ikan dicuci dengan hati-hati
menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara cepat, cermat dan saniter
untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4.4°C.Pencucian ini
bertujuan untuk menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di
tubuh ikan sehingga bebas dari kontaminasi bakteri
pathogen.
Pencucian bahan pangan yang
ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora alami) yang terdapat
dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak berpengaruh pada proses
selanjutnya. Pencucian dilakukan dalam air mengalir, bersih dan sudah
didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto, 2008).
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara
membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin
dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat
produk 4,4°C. Pembuatan loin ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai
dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen
Pengulitan dan
Perapihan
Tahap
berikutnya yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan bentuk loin
dan membuang lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan daging guna
mencegah terjadinya kontaminasi.
Sortasi Mutu
Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih
terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal
4,4°C.
Menurut
Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku bertujuan untuk mendapatkan bahan baku
ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang seragam. Pemisahan ini akan menjaga
mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan baku bermutu baik akan dapat
dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif sama.
Menurut
Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam ruang pengolahan bahan baku harus
diperiksa dan disortir dengan cara saniter hanya bahan baku yang memenuhi
syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah.
Pembungkusan (Wrapping)
Loin yang sudah rapih selanjutnya
dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat.
Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Pembekuan
Loin
yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku (freezer)
seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan mencapai
maksimal -18°C dalam waktu maksimal 4 jam.
Pembekuan
adalah cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah hasil perikanan.
Keunggulan paling utama dibanding cara pengolahan yang lain adalah
kemapuan pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau produk hasil
perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan adalah
pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku. Kondisi ini
menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku, sehingga dapat
memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan adalah suatu cara
pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal sampai mencapai
-180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah menjadi es
(Soen’an, 2002).
Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan
menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan
cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal
-18°C. Tujuan dari penimbangan ini adalah mendapatkan berat loin yang sesuai
dengan ukuran yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin
yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan
dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter sehingga
melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan
penyimpanan serta sesuai dengan label.
2.3.2.2 Bahan Baku Tuna Beku
Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit
pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku
kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu
pusat produk maksimal -18°C. Dengan demikian akan didapatkan bahan baku yang
bebas bakteri patogen dan memenuhi persyaratan mutu, ukuran dan jenis.
Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih
dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut.
Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak
menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal
-18°C. Penyiangan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan ikan yang bersih, tanpa
kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
Pembuatan Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara
membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin
dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu
pusat produk maksimal -18°C
Pengulitan dan Perapihan
Tulang,
daging hitam (dark meat) dan kulit yang ada pada loin dibuang
hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan
saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C
Okada
(1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah mengandung
mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna
merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun
atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di
antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih
80% hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan
mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g
(Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada
daging merah ikan tuna.
Pembekuan
Loin
yang sudah disusun dalam pan pembekuan, dibekukan dalam alat pembeku (Freezer) hingga
suhu pusat ikan mencapai maksimum -18°C secara cepat. Bertujuan untuk
membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C
secara cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
Menurut Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang
diambil diikuti dengan turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian
kadar air yang terkandung dalam produk menjadi es.
Penimbangan
Loin ditimbang satu per satu dengan
menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan
cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal
-18°C. tujuannya adalah untuk mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran
yang telah ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin
yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan
dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal ini
bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama
transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
2.3.2.3 Penyimpanan
Penyimpanan
tuna loin beku dalam gudang beku (cold storage) dengan suhu maksimal
-25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C. Penataan produk dalam gudang beku
diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan sirkulasi udara dapat merata dan
memudahkan pembongkaran.
Produk pangan yang sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak
mengalami rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke
konsumen. Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya
rekontaminasi. Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan
kebersihan bahan pengemas sangat berpengaruh terhadap upaya
pencegahan rekontaminasi (Afrianto, 2008).
Menurut SNI 01-4104-2006, bahan baku Tuna
Loin Beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan
produk berupa Tuna Loin Beku. Bahan baku harus bersih, bebas dari
setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan
pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta
tidak membahayakan kesehatan, juga harus berasal dari perairan yang tidak
tercemar serta secara organoleptik bahan baku tersbut harus mempunyai
karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut :
Konsistensi :
elstis, padat dan kompak
Persyaratan
mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu berdasarkan SNI
01-4104-2006, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel 4 . Standar Mutu
Tuna Loin Beku
JENIS UJI
|
SATUAN
|
PERSYARATAN
|
Organoleptik
|
Skala hidonik
1-9
|
Minimal 7
|
Cemaran
mikroba*:
ALT
Eschericia
coli
salmonella
vibrio
cholera
|
Koloni/gram
APM/gram
APM/gram
APM/gram
|
5 x 105
<2
negatif
negatif
|
Cemaran
kimia* :
Raksa (Hg)
Timbal (Pb)
Histamin
Cadmium (Cd)
|
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
|
maksimal 1
maksimal 0,4
maksimal 100
maksimal 0,5
|
Fisika :
Suhu pusat
|
oC
|
Maksimal -18
|
Parasit
|
Ekor
|
Maksimal 0
|
Catatan *
bila diperlukan
|
2.4 Penerapan Sistem Rantai Dingin
Pengawetan
ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/pemindahan panas
dari tubuh ikan ke bahan lain. Adapula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah
pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan
mempertahankan suhu ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah
daripada suhu diluar ruangan (Adawyah, 2008).
Menurut
Sarmono (2002), besarnya pengaruh suhu terhadap daya awet ikan segar dapat
dijelaskan antara lain, pada suhu 0oC ikan dapat awet selama 15 hari,
pada suhu 4,4oC ikan dapat awet selama 6 hari dan pada suhu 15,6oC
ikan dapat awet hanya 3 hari.
Pada
suhu rendah (dingin dan beku), proses-proses biokimia yang berlangsung dalam
tubuh ikan yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat. Selain
itu, pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan
juga dapat diperlambat. Dengan demikian. Kesegaran ikan akan semakin lama
dipertahankan (Junianto, 2003).
Menurut
Moeljanto (1992), penerapan rantai dingin ini dilakukan dengan pengusahaan suhu
rendah sekitar 00C mulai dari tahap awal sampai akhir. Dengan
mendinginkan ikan sampai sekitar 00C kita dapat memperpanjang masa
kesegaran (daya simpan, shelf-life) ikan sampai 12-18 hari sejak
saat ikan itu ditangkap dan mati, tergantung pada jenis ikan, cara penanganan
dan keadaan pendinginannya, untuk ikan tuna yang ditangani dan didinginkan
dengan baik sejak ditangkap, dapat bertahan sampai 21 hari sebelum dinyatakan
tidak layak untuk dimakan manusia (Murniyati dan Sunarman, 2000). Menurut Ilyas
(1993), kecepatan penurunan mutu kesegaran ikan sampai saat ikan menjadi busuk,
dipengaruhi oleh suhu, semakin rendah suhu produk semakin awet kesegarannya dan
semakin tinggi kadar awal bakteri bahan mentah sebelum dibekukan, relative akan
besar pula jumlah bakteri yang tersisa sesudah pembekuan dan penyimpanan beku.
Menurut
Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk
berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih
tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu
rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15oC efektif dalam
mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk
pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8oC menyebabkan laju
metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan pangan pada suhu
sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang
masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat
aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga
mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan
pangan.
2.4.1 Pendinginan
Pendinginan
umumnya merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali
terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan
seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa
simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan
terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk
setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan
pada suhu lebih rendah dari 13oC karena akan mengalami chilling
injury yaitu kerusakan karena suhu rendah. Buah pisang yang disimpan
pada suhu terlalu rendah kulitnya akan menjadi bernoda hitam atau berubah
menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan menjadi lunak karena teksturnya rusak
(www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Pada
prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan secepat mungkin ke suhu
serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku. Pada umumnya, pendinginan
tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi semakin dingin suhu ikan,
semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim. Dengan demikian melalui
pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan hanya tertunda, tidak
dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan diselimuti oleh medium
yang lebih dingin dari-nya, dapat berbentuk cair, padat, atau gas. Pendinginan
ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry
ice (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara
yang paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan
es sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah
di daratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika
dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem
pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran
ikan, biasanya10–14 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).
Menurut
Irawan (1995), banyak cara yang dilakukan dalam pengawetan dengan pendinginan,
diantaranya adalah dengan es (termasuk es kering dan es biasa), larutan garam
dingin, udara dingin dan lain-lain.
2.4.2 Pembekuan
Pembekuan
berarti mengubah kandungan cairan yang terdapat pada sebagian besar tubuh ikan
itu menjadi es. Ikan akan mulai membeku pada suhu antara -0,6oC
sampai -2oC, atau rata-rata pada -1oC. yang mula-mula
membeku adalah air bebas (free water), disusul oleh air terikat (bound
water). Pembekuan dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling
akhir (Adawyah, 2008).
Menurut
Murniyati dan Sunarman (2000), Pembekuan membutuhkan pengeluaran panas dari
tubuh ikan. Prosesnya, terbagi atas tiga tahapan, yaitu
·
Pada tahap pertama suhu menurun
dengan cepat hingga saat tercapainya titik beku (20oC hingga 0oC).
·
Kemudian, pada tahapan kedua suhu
turun perlahan-lahan (0oC hingga mencapai -5oC)karena dua
hal yaitu penarikan panas dari ikan bukan berakibat pada penurunan suhu,
melainkan berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh ikan dan terbentuknya es
pada bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi proses pendinginan dari
bagian-bagian di dalamnya.
·
Pada tahapan ketiga, jika kira-kira
¾ bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat kembali
(dibawah -5oC).
Waktu
yang dibutuhkan ikan dalam pembekuan untuk melintasi tahapan kedua (0oC
hingga -5oC ) disebut thermal arrest time. Berdasarkan
panjang-pendeknya waktu ini, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu pembekuan
cepat (quick freezing) yang tidak lebih dari dua jam dan pembekuan
lambat (slow freezing atau sharp freezing) yang lebih
dari dua jam.
Pembekuan
cepat dan pembekuan lambat mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang
terbentuk. Semakin cepat pembekuan semakin kecil kristal es yang terbentuk,
sebaliknya semakin lama pembekuan semakin besar kristal es yang terbentuk. Oleh
karena itu, pada pembekuan lambat jika dicairkan kembali maka kristal yang
mencair akan mendesak dan merusak susunan jaringan daging serta menimbulkan
terjadinya drip yang cukup banyak. Dengan demikian, pembekuan lambat
menghasilkan produk ikan bermutu rendah karena terjadinya denaturasi protein,
khususnya pada suhu -1oC dan -2oC (Murniyati dan
Sunarman, 2000).
Pembekuan
adalah proses penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu
jika suhu pada bagian dalamnya paling tinggi
sekitar -18oC,
meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih rendah dari ini. Pada kondisi
suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena mikroba tidak dapat tumbuh dan
enzim tidak aktif (www.wordpress/munzir08.com, 2009).
Dalam
melakukan pembekuan, baik yang dilakukan dilaut (kapal) maupun yang dilakukan
di darat (perusahaan/pabrik pengawetan ikan), tata cara tidak berbeda. Proses
pelaksanaan awalnya adalah memisahkan ikan menurut ukurannya. Jadi, antara ikan
ukuran kecil, sedang dan besar tidak tercampur menjadi satu (Irawan, 1995).
Blok-blok ikan harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu. Sistem pemberian
etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu yang memuat bahan baku
untuk membantu identifikasi produk akhir. Bila dipakai alat pembeku yang
horizontal, bahan baku harus dipak dalam pan pembeku atau alat lain agar
didapatkan blok-blok ikan yang seragam. Bila digunakan alat pembeku plat yang
vertikal, bahan baku harus dipak dengan baik diantara plat pembeku sehingga
sedikit mungkin terdapat ruangan udara. Bila hasil perikanan dibekukan tanpa
dibungkus terlebih dahulu, harus diatur dengan rapi dalam pan-pan
aluminium,atau bahan-bahan lain yang sejenis (Ditjenkan,1997).
Berdasarkan cara kerjanya, terdapat beberapa jenis alat-alat pembekuan
antara lain sebagai berikut:
Air Blast
Freezing
Freezer ini memanfaatkan udara dingin sebagai refrigerant.
Alat ini terdiri dari beberapa tipe, yaitu tipe ruangan, terowongan dan tipe
ban berjalan (belt conveyor) (Hariadi, 1994).
Contact Plate
Freezing
Contact Plate
Freezer sangat cocok untuk membekukan produk-produk
perikanan yang dikemas dalam kotak-kotak persegi, dengan bobot 1-4 kg. Pada
pembekuan sistem ini, produk yang dibekukan dijepit di antara dua plat berongga
yang diisi refrigerant (Hariadi, 1994).
Immersion
freezing
Jenis freezer
ini khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna (tongkol
besar), udang dengan kepala. Cara pembekuannya yaitu dengan mencelupkan ikan
kedalam larutan garam (NaCl) bersuhu -17oC atau dengan menyemprotkan
ikan memakai brine dingin itu (Moeljanto, 1992).
Cryogenic
freezing
Cryogenic
freezer adalah jenis freezer yang menggunakan CO2 dan
N2 cair. Jenis freezer ini dapat menghasilkan suhu yang sangat
rendah, yaitu –78oC untuk CO2 cair dan –196oC
untuk N2 cair (Moeljanto, 1992).
Pembekuan
dengan IQF freezer
Pembekuan
dengan IQF (Individually Quick Frozen) freezer bertujuan agar tiap
potong ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu sama lain. Olahan ikan
atau jenis makanan lain masuk ke dalam freezer dengan conveyor pada suhu 5-10oC
dan keluar dalam keadaan beku dengan suhu -18o sampai -20oC,
waktu pembekuan 20 menit sampai 45 menit tergantung pada ketebalan produk
(Moeljanto, 1992).
Sharp Freezing
Pembekuan dengan Sharp freezer ini
termasuk pembekuan secara lambat. Adapun cara pembekuannya adalah dengan
meletakkan produk-produk pada sejumlah rak pendingin yang disusun secara
horizontal. Rak-rak tersebut terdiri dari pipa-pipa pendingin, dengan
menggunakan refrigerant Amonia atau Freon 12.
Kerusakan
Mutu Produk dan Cara
Mengatasi
2.5.
Waktu Pembekuan
Produk
ikan tuna beku berbeda dengan produk ikan beku lainnya, karena perlu penanganan
khusus sebelum dan selama pembekuan. Suhu pembekuan untuk raw material atau
tuna utuh berbeda dengan suhu pembekuan untuk ikan lainnya. Setelah ditangkap,
sesegera mungkin ikan tuna tersebut dihilangkan insang dan isi perutnya baru
kemudian segera disemprot dengan menggunakan air dingin untuk menurunkan
suhunya, selanjutnya bahan baku ikan tuna dibekukan dalam bentuk utuh (whole).
Suhu media yang digunakan untuk membekukan ikan tuna tersebut adalah
-600C. Waktu
pembekuan adalah waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu produk dari suhu
awal hingga mencapai suhu tertentu pada bagian tengah produk. Kebanyakan tata
cara pembekuan menetapkan bahwa rata-rata atau keseimbangan suhu ikan, setara
dengan suhu penyimpanan di dalam cold storage. Oleh karena itu, suhu final
bagian tengah ikan harus dipilih sebagai acuan dalam menetapkan agar rata-rata
suhu ikan sama dengan suhu penyimpanan. Di dalam freezer, suhu permukaan ikan
dengan cepat turun mendekati -30 0C. Jika bagian tengah ikan suhunya -20 0C,
rata-rata suhu ikan akan mendekati suhu penyimpanan -30 0C. Dalam hal ini,
waktu pembekuan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan
suhu bagian tengah ikan menjadi -20 0C (Murniyati dan Sunarman, 2004). Waktu yang diperlukan
untuk menurunkan suhu dari suhu bahan mula-mula sampai dengan suhu pada saat
bahan tersebut mulai membeku dikatakan sebagai waktu pembekuan (Hadiwiyoto,
1993).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), faktor yang menentukan dalam waktu pembekuan antra lain adalah sebagai berikut :
Menurut Murniyati dan Sunarman (2004), faktor yang menentukan dalam waktu pembekuan antra lain adalah sebagai berikut :
1.
Jenis freezer, misalnya dalam pemindahan panas yang lebih baik dalam freezer
air garam akan membekukan produk lebih cepat dari pada di dalam air blast
freezer pada suhu kerja yang sama.
2. Suhu kerja, makin rendah suhu freezer, makin cepat ikan membeku. Namun biaya pembekuan meningkat jika suhu kerja freezer diturunkan.
3. Kecepatan udara dalam air blast freezer, waktu pembekuan berkurang jika kecepatan udara ditingkatkan. Namun faktor ini juga tergantung dari faktor lain misalnya jika hambatan pemindahan panas oleh lapisan udara diam itu penting, peningkatan kecepatan sangat nyata memperpendek waktu pembekuan, tetapi apabila ukuran pengepakannya besar dan hambatan dari ikan sendiri merupakan faktor penting, maka kecepatan udara akan kurang berpengaruh.
4. Suhu produk sebelum pembekuan, makin rendah suhu produk, makin pendek waktu pembekuan.
5. Tebal produk, makin tebal produk makin panjang waktu pembekuan. Untuk produk yang terbalnya kurang dari 50 mm, bila tebalnya dilipatduakan, waktu pembekuannya akan lebih dari dua kali.
6. Bentuk produk, ikan berpenampang bulat akan membeku dalam ⅔ waktu yang dibutuhkan oleh ikan pipih dengan tebal yang sama. Oleh karena itu bentuk ikan atau pengepak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap waktu pembekuan.
7. Luas permukaan peringgungan dan kepadatan produk, persinggungan yang buruk antara produk dengan pelat pembeku akan meningkatkan waktu pembekuan. Buruknya kotak itu terjadi karena adanya es di permukaan pelat, pak-pak yang tidak seragan tebalnya, pak tidak terisi penuh, atau rongga udara pada permukaan blok.Rongga udara di permukaan blok disertai juga dengan rongga di dalam blok yang akan menghambat transfer panas.
8. Pengepakan produk. Udara yang terperangkap di antara produk dan pembungkus sering menjadi pemghambat perpindahan panas yang lebih besar dari pada bahan pembungkus itu sendiri.
9. Jenis ikan, makin tinggi kandungan minyak ikan , makin rendah kandungan airnya. Air yang semakin sedikit membuat makin sedikit pula panas yang harus diambil untuk pembekuan ikan.
2. Suhu kerja, makin rendah suhu freezer, makin cepat ikan membeku. Namun biaya pembekuan meningkat jika suhu kerja freezer diturunkan.
3. Kecepatan udara dalam air blast freezer, waktu pembekuan berkurang jika kecepatan udara ditingkatkan. Namun faktor ini juga tergantung dari faktor lain misalnya jika hambatan pemindahan panas oleh lapisan udara diam itu penting, peningkatan kecepatan sangat nyata memperpendek waktu pembekuan, tetapi apabila ukuran pengepakannya besar dan hambatan dari ikan sendiri merupakan faktor penting, maka kecepatan udara akan kurang berpengaruh.
4. Suhu produk sebelum pembekuan, makin rendah suhu produk, makin pendek waktu pembekuan.
5. Tebal produk, makin tebal produk makin panjang waktu pembekuan. Untuk produk yang terbalnya kurang dari 50 mm, bila tebalnya dilipatduakan, waktu pembekuannya akan lebih dari dua kali.
6. Bentuk produk, ikan berpenampang bulat akan membeku dalam ⅔ waktu yang dibutuhkan oleh ikan pipih dengan tebal yang sama. Oleh karena itu bentuk ikan atau pengepak mempunyai pengaruh yang nyata terhadap waktu pembekuan.
7. Luas permukaan peringgungan dan kepadatan produk, persinggungan yang buruk antara produk dengan pelat pembeku akan meningkatkan waktu pembekuan. Buruknya kotak itu terjadi karena adanya es di permukaan pelat, pak-pak yang tidak seragan tebalnya, pak tidak terisi penuh, atau rongga udara pada permukaan blok.Rongga udara di permukaan blok disertai juga dengan rongga di dalam blok yang akan menghambat transfer panas.
8. Pengepakan produk. Udara yang terperangkap di antara produk dan pembungkus sering menjadi pemghambat perpindahan panas yang lebih besar dari pada bahan pembungkus itu sendiri.
9. Jenis ikan, makin tinggi kandungan minyak ikan , makin rendah kandungan airnya. Air yang semakin sedikit membuat makin sedikit pula panas yang harus diambil untuk pembekuan ikan.
KESIMPULAN
Tuna merupakan salah
satu bahan makanan yang mudah membusuk. Apabila tuna yang baru ditangkap tidak
diberi perlakuan atau penanganan yang tepat maka tuna tersebut mutunya menurun Cara penanganan bahan
baku yang baik akan menghasilkan produk pangan yang bermutu.
Penanganan Tuna
bertujuan untuk memperoleh bahan baku yang bermutubaik Apabila bahan baku ini
diolah akan menghasilkan produk yangbermutu serta aman dikonsumsi.
Komentar
Posting Komentar